Cari Blog Ini

Kamis, 01 Maret 2012

IJTIHAD, ITTIBA',atau TAQLID?

Kita sudah ditadirkan oleh Allah Swt. sebagai makhluk yang berpikir; bukan hanya itu, kita dijadikan sebagai sebaik-baik makhluq. Maka konsekwensinya kita harus pandai-pandai mempergunakan akal pikiran kita. Hidup bukan hanya untuk makan, akal kita ini amanat, yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Dengan akal kita bisa hidup sebagai manusia, sebaliknya kalau akal tidak dipakai sebagaimana mestinya kita gagal menjadi manusia. Bahkan kalau sudah dikuasai oleh nafsu dia akan menjadi lebih rendah dari binatang, tidak ada istilah Halal atau Haram, kalaupun mati tidak ada harganya, semua orang membenci.
Nah, jangan sampai itu terjadi, maka Allah Swt. menurunkan Al-Qurán, dan untuk menjelaskannya Allah Swt. mengangkat Nabi Muhammad Saw. Rasul-Nya. Beliau menjelaskan baik secara lisan, perbuatan, maupun ketetapannya. Itu yang disebut Sunnah Nabi. Qurán dan Sunnah itu satu paket ajaran. Teks-teks redaksional di dalam Qurán dan Sunnah itu dinamakan Nash, kalau ada Nashnya dinamakan "Manshush di dalam Qurán dan Sunnah Nabi Saw.". Kalau tentang Aqidah dan Syariah Nashnya jelas dan gamblang, sebaliknya kalau tentang etika dan akhlaq Nashnya bisa berfariasi, ada yang jelas tegas, terang-terangan, ada yang berupa sindiran dan lain sebagainya. Hukum-hukum yang terkadung dalam Nash itu dinamakan Masyru', atau yang disyariátkan. Bagaimana akan memahami syariat Allah Swt. ? Jawabannya ya harus berijtihad.
Sama dengan kita, kadang-kadang kita menyuruh tidak menggunakan bahasa menyuruh, melarang tapi tidak menggunakan bahasa larangan, malah-malah ada pertanyaan yang maksudnya melarang, ada permintaan tapi menggunakan bahasa pertanyaan. dan lain sebagainya. Untuk memahami hal-hal seperti ini orang harus mengerti Bahasa Arab, tidak hanya sekedar tahu. Orang yang berusaha memahami makna Nash yang menjadi sumber hukum yang masyru' itu dinamakan Mujtahid, dan pekerjaannya dinamakan ber-Ijtihad. Seorang Mujtahid, tidak hanya dituntut berilmu dan mengerti bahasa Arab, tapi juga harus orang yang bertaqwa/istiqamah dalam menjalankan tuntunan agama, dan berakhlaq al-Karimah. Orang yang berciri-ciri seperti itu biasanya disebut Álim, kalau banyak namanya Úlama'. Kriteria berakhlaq al-Karimah antara lain adalah tidak pendusta, tidak menyalah artikan Nash, atau artinya diplenter dibelokkan, tidak mencla-mencle, tidak dzalim, dan tidak mata duitan yang disebut wara'. Itu yang layak disebut Mujtahid, dan Ijtihadnya boleh diikuti. Imam Madzhab yang empat, yaitu Maliki, Hanafi, Syafií, dan Hambali adalah orang-orang Mujtahid, fatwa dan pendapatnya boleh diikuti, mengikuti pendapat mereka dinamakan berittiba' / bermadzhab.
Kalau sudah ada dalil yang Manshush, yang jelas makna dan arahnya, di situ tidak perlu berijtihad lagi, sebaliknya kalau Nash dalam Qurán dan Sunnah tidak ada atau tidak jelas makna dan maksudnya menurut kita, di situ baru boleh berijtihad, dan boleh berbeda pendapat. Kaidahnya mengatakan :

لاَ اِجْتِهَادَ مَعَ النَّصِّ
Maksudnya :
Tidak perlu berijhtihad kalau sudah ada nash yang sudah jelas.

Contoh :
Darah itu haram dimakan/diminum, itu sudah jelas, tidak perlu berijtihad lagi. Tapi, kalau tidak dikonsumsi sebagai makanan, kalau ditransfusikan bagi mereka yang kekurangan darah, semua orang sepakat boleh, tidak apa-apa karena bukan untuk dimakan. Nah, bagaimana sekarang dengan suntikan meningitis atau vaksinasi untuk yang mau pergi haji? Bahannya adalah bibit penyakit dari unsur Babi yang sudah dilemahkan, kalau produk Amerika dari unsur babi langsung, kalau produk Belgia unsur babi yang sudah dimodifikasi, gunanya untuk merangsang timbulnya antibody, supaya daya tahan/kekebalannya meningkat, bukan untuk dikonsumsi sebagai makanan, karena bibit penyakit. Namanya bibit penyakit dari manapun datangnya, sekalipun berasal dari makanan yang halal, tetap tidak boleh dimasukkan ke dalam tubuh, karena akan membawa madharat. Apakah tidak sama dengan darah tadi? Darah haram kalau dimakan, babi juga haram dimakan. Nah kedua-duanya, tidak dimakan. Darah bisa jadi untuk menyelamatkan nyawa, vaksinasi, untuk mengebalkan badan, bukan untuk mengobati yang sakit atau sebagai obat. 
Dalilnya :
  الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا 
(Sesuatu itu dilihat menurut tujuannya.)

Hukum syariat itu bergantung kepada sebabnya, kalau menimbulkan bahaya (Madharat) tidak boleh, semua larangan dalam Syariat itu karena adanya madharat, kapan saja dan di mana saja. Imam Syafií sendiri punya pendapat lama dan pendapat baru (Qaul Qadim dan Qaul jadid).
Kaidahnya mengatakan : 
الحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ الْعِلَّةِ وُجُوْدًا وَ عَدَمًا 
(Ada atau tidak adanya hukum itu mengikuti sebabnya. )

Memikirkan yang seperti ini namanya berijtihad. Jadi ijtihad itu berlaku sepanjang di dalam Qurán dan Sunnah tidak Manshush, karena manshushnya itu yang diharamkan (memakan) daging babi. Infus itu termasuk makan, karena memasukkan jenis makanan dari botol liwat suntikan, kalau sedang puasa tidak boleh menjalani infus. Tapi suntikan meningitis / vaksinasi bukan memasukkan jenis makanan atau yang dimakan, malah memasukan bibit penyakit. Bagaimana lemak babi? Sama saja, lemak juga termasuk daging babi, jadi haram juga dimakan atau diinfuskan.
Jadi, Mujtahid adalah Úlama yang bisa menjelaskan hukum-hukum yang terkandung baik di dalam Nash Qurán maupun Sunnah. Tapi belum tentu setiap orang punya potensi untuk menjadi Mujtahid. Ada yang berilmu tapi tidak berakhlaq, yang begini ini dinamakan Úlama' Su', fatwanya tidak boleh didengarkan. Misalnya, maksud ayat diplenter atau dirubah-rubah hukumnya sehingga orang Islam boleh menikah dengan orang kafir, atau perempuan boleh menjadi presiden, orang kafir boleh menjadi presidennya umat Islam, semua agama sama benarnya, surga bukan monopoli umat Islam (kaum muslimin), shalat sehari semalam cukup tiga kali saja, Al-Qurán adalah kitab suci yang paling porno di dunia, jilbab bukan pakaian muslimah, orang itu yang dijilbabi hatinya, bukan kepala dan badannya, dll. Ini ijtihadnya Uama' Su',
Jadi, menjadi seorang Mujtahid itu ideal. Sama dengan bekerja mencari nafkah. Idealnya laki-laki itu wajib mencari nafkah, untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan untuk diri dan keluarganya, sebisanya, baik dengan badan, pikiran, maupun hati, membuat kreasi sendiri, menciptkan lapangan kerja sendiri atau mengikuti orang, atau sekedar mengikuti tradisi yang sudah ada. Kalau tidak bisa berijtihad cukup menjadi pengikutnya saja yang dinamakan Muttabi' atau ber-Ittiba'. Al-Qurán tidak memaksa. Disebutkan di dalam Al-Baqarah :
لاَيُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

Allah tidak mmbebani seseorang melainkan sebatas kemampuannya saja (Al-Baqarah : 286).

Kalau Ittiba'nya membabi buta, itu namanya Taqlid. Taqlid itu dilarang, ayatnya menyebutkan : 

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ، إِنَّ السَّمْعَ وَ الْبَصَرَ وَ الْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُوْلاً
 
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Al-Isra': 36).

Baca juga Surah Luqman : 21, untuk menjadi peringatan, jangan meniru orang kafir. Kalau diajak beriman mereka bilang mengikuti nenek moyangnya saja. Selagi kita masih bisa berpikir, menalar, dan berbuat kita diharuskan berusaha mempergunakan kemampuan itu untuk memahami Nash dalam Al-Qurán dan Sunnah, sebisanya, baik yang tersurat maupun yang tersirat, itulah yang dinamakan berijtihad. Minimal untuk diri sendiri. Tapi kalau ilmu sudah mentok/terbatas, ya semampunya saja, tidak menjadi seorang Mujtahidpun tidak salah, karena Surah Thaha : 1-2 sendiri juga mengatakan :
طَهَ ، مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ القُرْآَنَ لِتَشْقَى

Thaha, Kami tidak menurunkan Al-Qurán ini kepadamu agar kamu menjadi susah.

Simpulan :
Ijtihad itu berusaha sebisanya untuk dapat memahami makna dan maksud Nash yang ada di dalam Al-Qurán dan Sunnah, kalau hanya sekedar mengikuti pendapat orang itu namanya Ittiba', kalau ittiba'nya tidak berdasarkan ilmu namanya taqlid. Taqlid tidak berdosa selama materi/persoalan yang ditaqlidi tidak bertentangan dengan Al-Qurán dan Sunnah Nabi Saw, tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, dan bukan untuk mengada-adakan aturan baru dalam agama yang tidak sesuai dengan Sunnah Nabi Saw. dan bukan mengikuti Úlama' Su' tadi.

Selamat berijtihad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar