Cari Blog Ini

Jumat, 09 Maret 2012

UKURAN WAKTU PUASA

Di zaman Globalisasi ini, ternyata muncul masalah wilayah dalam puasa, sehubungan dengan itu ada Negara / Daerah yang waktu puasanya panjang (20 jam), dan ada pula yang pendek (5 jam), pertanyaannya ialah :
  1. Bagaimana hukumnya bagi mereka yang waktu puasanya panjang ?
  2. Dan bagaimana pula bagi mereka yang waktu puasanya pendek ?
  3. Apakah dalam Islam ditentukan lamanya waktu puasa ?
  4. Bagaimana bagi mereka yang waktu puasanya terlalu pendek ? Apakah sah puasanya ?
  5. Jika waktu puasanya terlalu panjang, bisakah ia berbuka jika sudah mencapai ukuran waktu 12 – 14 jam ? 
  6. Bagaimana solusinya untuk mengatasi hal tersebut ?
Dalam memahami tuntunan Ibadah Puasa, kita kembali kepada firman Allah swt. :  

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (Al-Baqarah : 183).

Ayat ini, sebagaimana yang kita dengarkan setiap datangnya Bulan Ramadhan menjelaskan bahwa ketentuan berpuasa itu sudah ditetapkan oleh Allah swt. baik untuk masa kita sekarang ini maupun untuk masa orang-orang sebelum kita, sebagai amalan yang wajib. Tujuannya adalah supaya kita menjadi manusia yang bertaqwa atau menjaga diri dari melanggar larangan Allah swt.
Kemudian di Surah Al-Baqarah ayat 184 disebutkan begini :  
أَيَّاماً مَّعْدُوْدَاتٍ
Artinya :
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu (Al-Baqarah : 184).

Ayat ini menjelaskan waktunya, yaitu di hari-hari yang telah ditetapkan oleh Allah swt. (di Bulan Ramadhan).
Kemudian di ayat 185, ditegaskan :  
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya :
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan (Ramadhan) itu (Al-Baqarah : 185).

Ayat ini menegaskan bahwa puasa yang dimaksud adalah puasa Ramadhan, kalau sudah tampak Hilal bulan Ramadhan maka sudah saatnya berpuasa (sampai satu bulan penuh).
Kemudian, Rasulullah saw. mengajarkan :
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ
Artinya :
Berpuasalah kalian ketika melihat Hilal, dan berbukalah ketika melihat Hilal (juga).

Artinya, pedoman puasanya itu ditandai dengan munculnya Hilal. Maka kalau ada suatu tempat yang sedaerah / sewilayah mereka berkewajiban berpuasa meskipun Hilal tidak tampak bagi daerah / wilayah tersebut. Misalnya kalau orang di Daerah Kenjeran melihat Hilal, maka yang tinggal di Gresik juga dianggap sama sedaerah wajib puasa.
Sekarang masalah teknisnya, sebagaimana pertanyaan Sdri. ada ayat mengajarkan : 

وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ
Artinya :
Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (Al-Baqarah : 187).

Ayat ini menegaskan bahwa Islam menentukan ukuran waktu puasa, ialah sejak fajar hingga terbenam matahari (malam), tidak memandang berapa jam lamanya. Kalau ternyata di zaman globalisasi ini muncul masalah seperti yang sdri. tanyakan tadi, maka jawabannya sudah pasti seperti yang tersebut di Al-Baqarah ayat 187 ini.
Kalau anda kebetulan berada di wilayah yang siangnya panjang ya ikut panjang, kalau anda di wilayah yang siangnya pendek juga ikut pendek, itulah nasib anda. Jadi pedomannya adalah : Puasa harus di siang hari, yaitu antara terbit fajar sampai terbenamnya matahari, waktu setempat, tidak ditentukan harus selama 12 s/d 14 jam. Kalau Sdri. di Surabaya waktunya ikut Surabaya, kalau anda di Jakarta waktunya ikut Jakarta. Kalau anda menempuh perjalanan dari Surabaya, sesampainya di Jakarta, anda belum boleh berbuka kalau di Jakarta belum tiba saatnya berbuka, demikian sebaliknya, kalau anda ke Surabaya, setibanya ditempat sudah datang saatnya berbuka, maka anda juga harus berbuka, tidak boleh puasa terus menunggu habisnya waktu puasa siang hari, antara jam 04.00 s/d 18.00 misalnya (selama 12 s/d 14 jam).
Misalnya lagi, waktu ber-I’tikaf (Lailatu al-Qodar) adalah di malam hari. Yang dinamakan “malam” adalah menurut waktunya orang yang kedatangan malam itu. Kalau dibandingkan dengan Amerika, waktu itu Amerika siang. Jadi waktu kita ber-Lailatu al-Qodar, orang Amerika siang hari, sebaliknya waktu orang Amerika ber-Lailatul al-Qodar, kita di siang hari. Tapi jangan kemudian dikatakan kita ber-Lailatu al-Qodar di siang hari, karena Lailatu al-Qodar itu di malam hari, (meskipun Amerika siang), yaitu malam menurut waktu kita, jadi umat jangan dibodohi dengan hal-hal yang konyol, karena dilatar belakangi tendensi apapun.
Misalnya lagi, selisih waktu kita dengan Makkah adalah 4 jam, jadi pada waktu kita berbuka, di Makkah masih jam 2 siang hari (gampangnya), sebaliknya, ketika orang Makkah berbuka, kita sudah sekitar jam 22.00 malam atau kita sudah selesai shalat Tarawih. Jadi Puasa kita itu di waktu siang menurut kita, bukan menurut orang Makkah atau Amerika atau lainnya yang waktunya tidak sama dengan kita (wib).
Demikian juga kalau anda sedang puasa, menempuh penerbangan ke Jeddah, sesampainya di Jeddah Sdri tidak boleh berbuka, kalau Jeddah belum tiba waktunya berbuka, sekalipun menurut jam anda menunjukkan angka 20.00 wib misalnya, sebab di Jeddah baru jam 16.00 Waktu Arab Saudi. Pada saat seperti ini Puasa anda molor. Sebaliknya, kalau anda menempuh perjalanan dalam Puasa anda itu dari Jeddah ke Surabaya, anda sudah harus berbuka menurut daerah pesawat anda itu sampai, misalnya di wilayah Bombay, India, dan anda tidak perlu melihat waktu belum saatnya berbuka menurut waktu Jeddah. Dalam hal ini puasa anda waktunya memendek / menjadi pendek, dan puasa anda tetap sah meskipun berlangsung hanya berapa jam saja.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana solusinya untuk mengatasi hal tersebut ?
Solusinya, kalau anda dalam perjalanan, anda boleh memilih tidak puasa karena musafir, tapi harus bayar hutang di lain waktu. Kalau anda kebetulan tinggal di daerah yang siangnya panjang, anda bebas tidur sepuas-puasnya, untuk menghindari rasa kelaparan / kehausan. Dan karena ini pula Rasulullah saw. menganjurkan mengakhirkan makan sahur dan menyegerakan berbuka, meskipun siangnya normal (tidak panjang).
Dan di Surah Al-Baqarah ayat : 233 disebutkan :  
لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا
Artinya :
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.

Di ayat : 286 disebutkan :  
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا
Artinya :
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.

Kalau dengan puasa siang hari, baik yang panjang maupun tidak, terjadi apa-apa --semoga jangan terjadi hal-hal yang tidak kita harapkan--, maka Kaedah Ushuliyahnya mengatakan :
الضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
Artinya :
Bahwa keadaan dlarurat itu bisa membolehkan yang (tadinya) dilarang.

Andaikata anda tidak sanggup Puasa di daerah yang siangnya panjang, maka anda boleh memilih pindah tempat, atau kalau tidak memungkinkan solusinya adalah membayar fidyah, sebagaimana mestinya, karena kondisi pisik tidak mengijinkan.
Puasa bukanlah untuk menyiksa diri, tapi puasa adalah kebutuhan jasmani dan ruhani kita sendiri, itulah pesan Islam, ada saat-saat tertentu yang mengharuskan kita puasa. Kalau anda punya mobil atau motor, tidak ada orang yang menyuruh anda ke pom bensin atau bengkel kecuali anda sendiri, itu kebutuhan anda Binatang juga demikian, mereka puasa karena dalam keadaan tertentu saja, seperti ayam puasa ketika mengeram. Bedanya, kita puasa sesuai dengan fithrah, ada aturannya, dinilai ibadah dan berpahala, kalau binatang hanya sejalan dengan fitrahnya saja, demikian itu cara ibadahnya. Maka orang kafir yang jelas tidak pernah Puasa dan tidak mengenal tuntunan Puasa seperti yang diajarkan ayat-ayat tersebut, ya sama seperti binatang.
Allah swt. berfirman sebagaimana tersebut di Surah Yunus : 35 :
قُلْ هَلْ مِنْ شُرَكَآئِكُمْ مَّنْ يَهْدِيْ إِلَى الْحَقِّ ، قُلِ اللهُ يَهْدِيْ لِلْحَقِّ ، أَفَمَنْ يَهْدِيْ إِلَى الْحَقِّ أَحَقُّ أَنْ يُتَّبَعَ أَمَّنْ لاَّ يَهِدِّيَ إِلاَّ أَنْ يُهْدَى ، فَمَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُوْنَ
Artinya :
Katakanlah: "Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang menunjuki kepada kebenaran?" Katakanlah: "Allah-lah yang menunjuki kepada kebenaran". Maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan? Artinya, muslim yang biasa mengerjakan puasa tidak boleh ikut aturan orang kafir yang tidak mengenal Puasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar