Cari Blog Ini

Sabtu, 14 April 2012

ASPEK HISTORIS AL-MUSHHAF AL-'UTSMANI

A. Latar belakang Penulisan al-Mushhaf al-'Utsmani. 

Pada masa kekhalifahan 'Utsman, perjalanan Islam sudah masuk dalam tahun ke 24 / 25 H, Islam semakin berkembang, baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Di bidang politik, ke dalam isu tentang kekhalifahan semakin marak, timbulnya golongan-golongan dalam Islam mulai merebak, antara pendukung Ali di satu pehak dan para sahabat lain dipehak lainnya, di sisi lain ada beberapa sahabat yang mulai tidak senang kepada kebijaksanaan Khalifah 'Utsman yang dinilai cenderung terlalu lentur dan loyal kepada keluarganya sendiri. Ke luar, wilayah-wilayah Islam semakin meluas, termasuk pengembangannya ke Armenia dan Azarbaijan, yang harus dilindungi aset-asetnya, dan diawasi pelaksanaan ajaran Islam-nya, seperti di al-Madinah al-Munawwarah sendiri, sebagai tindak lanjut dari "Piagam Madinah"(133), yang telah dideklarasikan oleh Rasul Allah unntuk membentuk Daulah Islamiyah(134), dan melanjutkan program yang telah dilaksanakan Abu Bakar dan Umar sebelumnya.
Di bidang sosial umat Islam semakin banyak bersentuhan dengan kehidupan masyarakat lintas adat yang lebih luas. Di bidang budaya yang dihadapi umat Islam semakin berfariasi, diantaranya budaya non Islam yang dimotori oleh Romawi dan Persi yang sudah berlangsung sejak Nabi masih hidup.
Di bidang agama, khususnya pengajaran Islam semakin membutuhkan akurasi penangan, terutama pengembangan al-Qur'an, karena ternyata terjadi perbedaan tata-bacanya, padahal al-Qur'an merupakan pedoman hidup seperti yang Nabi pesankan di dalam khuthbahnya pada waktu Haji Wada'.
Maka, ketika mendapat laporan dari Hudzaifah ibn al-Yaman Khalifah 'Utsman yang usianya sudah di atas 70 tahun segera bersikap pro aktif, lalu membentuk team untuk segera membukukan ulang al-Qur'an seperti yang dijelaskan di muka. Atas dasar itu diperlukannya al-Mushhaf al-'Utsmani adalah :

  1. Untuk menyatukan kaum muslimin. Dan untuk itu al-Qur'an harus ditulis ulang tanpa titik dan baris yang memungkinkan dapat dibaca dengan berbagai tata-baca yang mutawatir, dan melarang selain itu, baik dibaca di dalam salat atau di luar salat, agar tidak terjadi perselisihan lagi.
  2. Untuk mempertahankan dan menjaga kesucian al-Qur'an dari campur tangan manusia berupa perubahan, penambahan dan pengurangan, baik surah, ayat maupun susunannya.
  3. Untuk menjadi pedoman bagi kaum muslimin, baik yang tertulis (مكتوب) maupun yang terbaca (منطوق), dan mewajibkan mereka mentaatinya, sebagai wujud pengamalan sunnah Nabi dan sunnah para Khulafa al-Rasyidin. (Lihat Buku Pendamping : Peta Bahasa Arab dan Qira'ah Sab'ah).

Setelah Khalifah 'Utsman menetapkan al-Rasm al-'Utsmani, para ulama berbeda pendapat menjadi dua kelompok, yaitu :

Kelompok pertama :
Memandang bahwa al-Rasmu al-'Utsmani adalah Tauqifi (berdasarkan wahyu dari Allah), karena itu "Wajib ditepati, tidak boleh mengganti dengan huruf yang lain, menambah atau menguranginya".
Kelompok ini menurut al-Zarqani mengharamkan "menyalahi al-Rasm al-'Utsmani" dengan menyebutkan tujuh alasan(135). Mereka berpendapat bahwa model tata-tulis al-Qur'an di zaman Nabi dahulu adalah berdasarkan petunjuk beliau. Karena itu al-Rasm al-'Utsmani ini dianggap sebagai sebuah model tata-tulis yang khusus dipakai untuk menulis wahyu.
Tata-tulis seperti ini adalah seiring dengan kemu'jizatan al-Qur'an itu sendiri. Adanya penambahan alif seperti dalam kata-kata "أَنْبؤُا" (al-An'am : 5), pengurangan alif seperti dalam kata-kata "سَعَوَْ" (Saba' : 5) atau perubahan alif menjadi wawu seperti "مِشْكوةٍ" (al-Nur : 35) dan lain-lain merupakan salah satu bentuk mu'jizat kata Ibn Mubarak(136). Ada juga yang memandang, kalau tata-tulis tersebut mengandung kemungkinan lebih dari satu macam tata-baca, hukumnya wajib menepati, apabila tidak maka hukumnya tidak wajib.
Berdasarkan hal-hal tersebut, mayoritas ulama yang tergabung dalam kelompok ini mengatakan wajib menepati al-Rasmu al-'Utsmani dalam menulis al-Qur'an apa adanya, sesuai dengan keputusan sidangnya Kahlifah 'Utsman, tidak boleh menyalahinya(137), meskipun tidak tahu hikmahnya, seperti kata Imam Ibn Hanbal(138).
Penulis memandang memang tata-tulis al-Rasm al-'Utsmani adalah tata-tulis yang digoreskan mengikuti wahyu yang disampaikan secara lisan. Kalau wahyu ditulis dengan sembarang tata-tulis akan menyalahi sabda Nabi dan memutuskan jalur sanad yang menjadi salah satu rukunnya seperti yang ditetapkan Khalifah 'Utsman. Dan benarlah pendirian Ahmad ibn Hanbal, al-Baihaqi, Abu 'Amr al-Dani dan Abu al-'Abbas al-Murakisy yang mengatakan bahwa "menepati al-Rasmu al-'Utsmani' adalah wajib(139).
Di samping itu, menepati tata-tulisnya berarti memelihara otentisitas al-Qur'an, baik dalam tata-tulis maupun tata-bacanya, kalau tidak demikian akan terbuka kemungkinan tata-tulis dan tata-bacanya mengalami perubahan, pergantian dan lain sebagainya. Akibatnya sistem al-Rasm al-'Utsmani pada al-Qur'an akan hilang, sehingga memungkinkan al-Qur'an dibaca sembarangan, tidak sesuai dengan "سُنَّةٌ مُتَّبَعَةٌ" seperti yang ditegaskan oleh al-Dani dan Zaid ibn Tsabit(140), lebih dari itu al-Rasm al-'Utsmani tidak bisa dijadikan hujjah dalam tata-tulis dan tata-baca, bahkan dalam tata-bahasa Fushha.
Al-Qur'an akan kehilangan orsinilitasnya, menyimpang dari bahasa fushha dimana al-Qur'an diturunkan, dan tidak mustahil tata-tulis huruf al-Qur'an akan selalu berubah-ubah sesuai dengan perubahan budaya manusia, dan mungkin sekali akan mengakibatkan perubahan pada tata-bacanya. Akhirnya orang boleh memakai tata-tulis dan tata-baca yang mana saja yang terbaik untuk dirinya walaupun tanpa menepati al-Rasm al-'Utsmani, dan mereka akan menganggap lebih baik al-Qur'an ditulis menurut caranya sendiri-sendiri, misalnya dengan tulisan latin yang dipakai oleh Bahasa Indonesia, asal mudah dibaca.
Kalau sudah demikian, sangat mungkin umat Islam akan terpecah belah lagi mengulangi peristiwa 1400 tahun yang lalu, selanjutnya keputusan sidangnya Khalifah 'Utsman akan sia-sia. Maka dalam hal 
ini "دَرْءُ الْمَفَاسِدِ" harus lebih diutamakan.
Sebaliknya, dengan keharusan menepati tata-tulis al-Rasm al-'Utsmani seperti yang ada ini, akan dapat dirasakan hikmah nabawiyah dan jiwa kepatuhan kepada Nabi dan Khulafa al-Rasyidin, melestarikan ajaran beliau, tidak hanya sekedar menghargai jerih payah mereka yang telah berupaya mempersatukan kaum muslimin. Lebih-lebih akan mempertahankan dan mengabadikan jejak-jejak risalah kerasulan dan ajaran-ajarannya, dan apabila menyalahinya akan termasuk pengingkaran khususnya terhadap keputusan sidangnya Khalifah 'Utsman.

Kelompok kedua :
Memandang bahwa tata-tulis adalah Taufiqi (atau kreasi manusia), maka orang boleh tidak menepati al-Rasm al-'Utsmani tersebut(141).
Mereka berpendirian bahwa menepati al-Rasmu al-'Utsmani tidak wajib, menyalahinya juga tidak ada larangan, karena tata-tulis adalah buatan tangan para sahabat, jadi termasuk budaya, dan tidak ada satu dalil pun baik dalam al-Qur'an atau al-Sunnah, baik secara langsung atau dengan isyarat yang mengharuskan menepatinya.


Tanpa mengurangi makna dan arti keputusan sidangnya Khalifah 'Utsman, penulis berpendapat bahwa pendapat ini juga benar, karena memang al-Qur'an diajarkan Nabi secara langsung berhadapan dengan para sahabat, secara lisan tidak melalui tulisan. Maka selagi tidak ada dalil qath'i baik dari al-Kitab maupun al-Sunnah yang mengharuskannya hukumnya tidak wajib, yang penting tata-bacanya benar. Sebab tata-tulis adalah jejak-jejak dari adanya tata-baca, dan pada prinsipnya Islam tidak mempersulit. Diturunkannya al-Qur'an dengan tujuh huruf adalah juga untuk memberikan kemudahan seperti yang telah disinggung di muka.
Kecuali kalau akan mencetak al-Qur'an, harus menepati al-Rasm al-'Utsmani, apa adanya, sedang apabila dalam proses belajar mengajar, untuk memberikan kemudahan bagi anak didik, maka boleh dipakai model tata-tulis yang berlaku dalam Bahasa Arab pada umumnya, yang dipakai oleh kitab-kitab, yang lazim disebut tata-tulis "Imla'", misalnya, bacaan panjang "a" ditandai dengan Alif (ا), seperti bunyi panjang "u" dengan Wawu (و), dan "i" dengan Ya' (ي), bunyi bacaan tebal ditambah Tasydid / Syiddah (ـّ), kecuali beberapa kata-kata seperti "أُولئِكَ", "ذلِكَ", "أَنَا" dan lain sebagainya yang tidak sesuai antara tata-tulis dengan tata-bacanya.
Yang penting ketepatan tata-bacanya, tata-tulis hanyalah sarana untuk melahirkan tata-baca yang benar. Dahulu pun para sahabat belajar al-Qur'an tidak melalui bagaimana tata-tulisnya. Nabi juga pernah menyuruh sahabat untuk memperindah tata-tulis sebagaimana sabda beliau kepada Mu'awiyah(142). Itu berarti bahwa tata-tulis merupakan hak prerogatif sahabat untuk berkreasi, dan Nabi tidak pernah menentukan model tata-tulis tertentu. Jadi selama dalam proses belajar dan mengajar tidak harus terikat oleh model tata-tulis al-Rasm al-'Utsmani, tetapi boleh menggunakan tata-tulis Imla', dan tata-tulis yang ada di dalam al-Mushhaf 'Utsmani itu juga tidak akan berubah oleh adanya proses belajar dan mengajar.
Ini juga tidak berarti mengingkari keputusan sidang Khalifah 'Utsman dan ulama salaf, akan tetapi lebih sekedar upaya sementara, karena ini masalah teknis. Rasul Allah juga 
bersabda "أَنْتُمْ اَعْلَمُ بِأُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ". Selagi peserta didik masih belum bisa mengakrabi al-Rasmu al-'Utsmani yang sebenarnya, dan cara itu yang paling mudah untuk dipelajari, maka tidak perlu dikhawatirkan merusak atau merubah al-Rasm al-'Utsmani, karena prinsip pendidikan adalah mentransfer ilmu dengan metode dan teknik pembelajaran yang sesuai, sebab "الطَّرِيْقَةُ أَهَمُّ مِنَ الْمَادَّةِ", Nabi juga pernah 
bersabda أَنْزِلُوْا النَّاسَ مَنَازِلَهُمْ"(143)". 
Sabdanya pula : "يَسِّرُوْا وَ لاَ تُعَسِّرُوْا ، وَ بَشِّرُوْا وَ لاَ تُنَفِّرُوْا"(144). 
Sejalan dengan firman-Nya "لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاّ وُسْعَهَا" (al-Baqarah : 286).

Dalam tahap pemula, seyogyanya anak didik jangan dibebani penghayatan model tata-tulis yang tampak aneh atau asing. Lagi pula bahwa model tata-tulis al-Rasmu al-'Utsmani sekarang sudah jauh berbeda dengan keadaannya waktu pertama kali sampai dua abad berikutnya. Kurang bijaksana apabila tidak boleh ada kreasi yang lebih mudah dicerna oleh anak didik, karena tidak keluar dari substansi ajarannya.
Sejarah sendiri telah mencatat bagaimana asal mula lahirnya al-Rasmu al-'Utsmani tersebut. Dan tidak realistis apabila di zaman sekarang ini anak didik masih harus belajar tata-tulis model Zaman Khalifah 'Utsman dahulu, dengan menafikan kemajuan yang telah dicapai selama ini, padahal tiap-tiap huruf sekarang sudah berubah, wajahnya lebih nyata, lebih spesifik dan artistik. Karena itu, tata-tulis yang paling mudah bagi anak didik harus lebih diutamakan selama dalam proses belajar mengajar, apalagi bagi anak didik yang tidak mempunyai kemampuan khusus.
Sementara tata-tulis yang memang seharusnya ditulis sesuai dengan Bahasa Quraisy, tetap ditulis apa adanya, seperti "أُولئِكَ", "أَنَا", "مِائَةٌ", "التَّابُوْتُ" dan lain-lainnya, karena memang demikian keputusan sidangnya Khalifah 'Utsman.
Masalah khilafiyah menepati atau tidak menepati al-Rasm al-'Utsmani(145) ini tidak penulis panjang lebarkan karena pokok persoalan yang dibicarakan adalah bagaimana pengaruh tata-tulis terhadap tata-bacanya. Penulis memandang bahwa perbedaan pendapat seperti ini mengisyaratkan selama umat Islam tidak diikat dengan tata-tulis, tata-baca dan tata-bahasa yang satu kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat lagi masih terbuka. Maka dengan ditetapkannya keputusan sidang tersebut, berarti upaya menyatukan umat Islam khususnya dalam tata-tulis dan tata-baca sudah final, tidak boleh ada revisi lagi, dan dengan ini dapat diketahui mengapa al-Mushhaf al-'Utsmani seperti yang kita baca sekarang diperlukan.

Bacaan :
133. Bukan Naskah "Ikatan Perjanjian" antara Nabi dengan umat lain, seperti yang dikatakan Badri Yatim. Lihat Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 26.
134. Ibid. hlm. 26-27. Untuk menegakkan Daulah Islam Nabi tidak perlu berjanji dengan orang kafir.
135. Lihat al-Zarqani. op. cit. Juz I. hlm. 390-392, al-Suyuthi. op. cit. Juz I. hlm 212. al-Shalih. op. cit. hlm. 276.
136. Al-Zarqani, op. cit. Juz I. hlm 370-376
137. Al-Zarqani. op. cit. Juz I, hlm 380-382.
138. Mukarram. op. cit. hlm. 18.
139. Ibid.
140. Al-Suyuthi. op. cit. Juz I. hlm. 212.
141. Lihat al-Zarqani. op. cit. Juz I. hlm. 373.
142. Lihat hal. 34.
143. HR. Muslim dan Abu Daud dari 'Aisyah dan dari al-Bazar dan Abu Ya'la. 'Abd. Lathif. 'Abd. Wahab. Mukhtarat al-Ahadits. (Makkah al-Mukarramah: Maktabah al-Nahdhah al-Haditsah. 1399 H), hlm. 291.
144. Al-Suyuthi, al-Jami'u al-Shaghir. Juz II. hlm. 76.
145. Periksa al-Zarqani op. cit. Juz I. hlm. 372-379.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar